Keempat,
beberapa kritikus berpendapat bahwa, untuk fokus pada mereka yang benar-benar
miskin, PPT harus lebih fokus pada ekuitas. Ada beberapa inti yang merupakan
target utama PPT. Namun, para praktisi mengakui perlunya kerja sama di antara
berbagai pemangku kepentingan dan berbagai inisiatif kebijakan dan perencanaan untuk
pengurangan kemiskinan dengan menggunakan mekanisme fiskal atau redistributif
lainnya untuk mengubah semua bentuk pariwisata menjadi PPT . Di tingkat lokal fitur
“pariwisata propoor” dapat menjadi hubungan kewirausahaan bagi komunitas miskin
dalam rantai pasokan pariwisata.
Agar
redistribusi benar-benar menjadi titik fokus dari PPT, perlu meningkatkan peran
negara, serta sistem dunia yang lebih luas. Seperti dalam hal pembangunan
umumnya, dampak dari setiap proyek PPT, dalam skala besar, akan terbatas
kecuali seluruh strategi pariwisata negara dibangun untuk tujuan pengentasan
kemiskinan. Akibatnya, PPT mengharuskan perubahan baik secara ideologi dan
sistemik . Perubahan ideologis seperti itu perlu disertai dengan perubahan
dalam sistem internasional sehingga negara-negara berkembang diberikan
kekuasaan pengambilan keputusan yang lebih besar dalam lembaga Organisasi
Perdagangan Dunia.
Meskipun
bisa terjadi, namuna da perdebatan untuk masalah seberapa jauh inisiatif PPT
bisa memiliki perkembangan yang ideal dan sistem ekonomi yang lebih egaliter yang
bisa berjalan di dunia nyata.
Kelima,
bisa dikatakan bahwa PPT dianggap gagal dalam memperhitungkan kelayakan
komersial dan akses ke pasar, dengan LSM dan perwakilan NGO lebih memilih untuk
mencari bantuan uang untuk proyek-proyek . Sekali lagi, ada kebenaran dari kritik
ini, tetapi, hal itu hanya berlaku untuk sebagian besar proyek CBT, di mana PPT
seringkali salah diartikan. seperti Goodwin menyarankan, “beberapa proyek [CBT]
menghasilkan manfaat yang cukup baik dengan memberikan insentif bagi konservasi
destinasi ekowisata-atau berkontribusi pada pengurangan kemiskinan lokal.
Keenam,
seperti yang ditunjukkan sebelumnya, PPT dianggap gagal menghadapi pariwisata
massal, baik “masalah” atau fitur PPT nya. Hal itu mencakup kondisi kerja yang
buruk di bidang pariwisata tujuan, “praktik upah anti-poor” yang rendah, dan
sebagainya. Sekali lagi, meski kondisi tersebut jelas ada, pendukung PPT dapat
secara sah berpendapat bahwa peran mereka adalah untuk membantu komunitas
miskin untuk memperoleh “kue” pariwisata lebih banyak. Meski terjadi kondisi
kerja yang buruk dan eksploitatif namun tidak membatalkan keberadaan industri
pariwisata secara keseluruhan, apalagi menghapuskan penggunaan buruh anak dan
menjalankan kebijakan penghentian pembuatan karpet.
Dari perspektif yang berbeda PPT diduga telah mengabaikan karakteristik pariwisata massal propoor yang, seperti disebutkan di atas dan di Tabel 4, dan menjauhi tujuan perekonomian nasional. Bahkan beberapa studi empiris metodologis mensuarakan pariwisata massal dan dampaknya. Namun, ketidakhadiran mereka pada kekurangan dana penelitian atau dukungan lain diperlukan kerjasama dengan pelaku bisnis perhotelan utama dan operator tur.
Bagaimanapun,
kerjasama tersebut luar biasa. Secara umum komitmen perusahaan transnasional dan
pelaku bisnis perhotelan dan operator tur telah siap untuk menawarkan bantuan
dana dan bantuan dari lembaga lain, yang dapat mendorong PPT untuk berjalan.
BERSAMBUNG KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar